Tuesday, 25 October 2016

Inquiry Letter

Description :
Inquiry letter was made by personal or represent on behalf of a particular group after they receive introduction letter. Inquiry letter is letter to ask furthermore information. The information that we ask for example about product, term, and service. 

Function :
The function of the Inquiry Letter is are follows:
a.    To response introduction letter
b.    To request furthermore information that wasn’t describe in introduction letter
c.     To ensure about authenticity
d.    Help make decision to business cooperation

Example :


Excercise :
Fill the letter with following word:

Therefore         book       received        held           faithfully        receive

                                                        


7.    Letter to ask furthermore information is called ….
a.    Inquiry Letter
b.    Invitation Letter
c.     Introduction Letter
d.    Sales Letter

8.    Inquiry letter was made after receive …..
a.    Invitation Letter
b.    Introduction Letter
c.     Sales Letter
d.    Offer Letter

9.    The information that we ask in inquiry letter is as follows, expect ….
a.    product
b.    term
c.     service
d.    sales salary

10.  The function of the Inquiry Letter is ….
a.    To response sales letter
b.    To request furthermore information that wasn’t describe in introduction letter
c.     To ignore about authenticity
d.    Help make decision to business competition


Answer key :
1.         received
2.         held
3.         book
4.         therefore
5.         receive
6.         faithfully
7.         A
8.         B
9.         D
10.       B

Friday, 3 June 2016

Alternatif Berekspansi dengan Leasing

Dalam suatu kegiatan bisnis banyak masalah yang kadang-kadang muncul begitu saja. Badan usaha yang tadinya cukup mapan, tetapi karena perkembangan perekonomian badan usaha tersebut memerlukan modal atau barang modal tambahan untuk lebih mengembangkan kegiatan bisnisnya. Penambahan modal tersebut bisa didapatkan melalui perusahaan leasing. Leasing merupakan badan usaha yang mirip sewa-menyewa, tetapi mengandung unsur-unsur jual-beli dan perjanjian pinjam-meminjam. Melalui leasing, perusahaan dapat memperoleh barang modal dengan mudah tanpa adanya jaminan. Dibandingkan dengan badan usaha lain yang sejenis, leasing memberikan beberapa kemudahan yaitu: fleksibel, biaya relatif murah, menghemat pajak, prosesnya sederhana dan banyak kelonggaran bagi lesse. Pada tulisan ini akan diuraikan aspek hukum yang berkaitan dengan leasing khususnya yang termuat dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing). Dengan demikian, akan diperoleh informasi mengenai mekanisme pelaksanaan leasing di Indonesia sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pelaku bisnis yang akan memutuskan menggunakan leasing dalam memenuhi kebutuhan modalnya.

Sejarah Leasing
Istilah Leasing berasal dari kata “lease” yang berarti sewa menyewa. Jadi leasing merupakan turunan dari sewa menyewa. Akan tetapi, dalam dunia bisnis berkembang sewa menyewa dalam bentuk yang lebih spesifik yang disebut leasing dan telah berubah fungsinya menjadi salah satu jenis pembiayaan. Melihat bentuknya, leasing adalah badan hukum yang merupakan improvisasi dari badan hukum konvensional (sewa menyewa) yang telah lama dikenal oleh masyarakat. Sementara leasing dalam arti modern pertama kali berkembang di Amerika Serikat kemudian menyebar ke Eropa. Bahkan pada tahun 1850 tercatat adanya leasing pertama di Amerika yang beroperasi di bidang leasing kereta api.
Di Indonesia, leasing baru dikenal mulai tahun 1974 yang kemudian diterbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. Kep-122/MK/IV/2)/1974; No. 32/M/SK/2/1974; No. 30/Kpb/I/1974 tentang Perizinan Usaha Leasing. Seiring dengan perkembangan waktu dan perekonomian Indonesia, semakin banyak dan kompleks permasalahan yang muncul mengenai leasing. Pada tahun 1980 setelah diterbitkannya beberapa peraturan yang mengatur tentang leasing, jumlah perusahaan leasing tidak lebih dari 6 perusahaan dan mengalami penambahan di tahun 1984 menjadi 48 perusahaan leasing. Tahun 1986 telah mencapai jumlah 89 perusahaan leasing dan terus berkembang menjadi 122 perusahaan  leasing  di  tahun  1990.  Beberapa  segi operasionalisasi ataupun mekanisme leasing juga turut berubah, misalnya dalam hal metode penghitungan aset untuk kepentingan pajak berkenaan dengan diundangkannya ketentuan pajak di tahun 1984. Pada tahun 1990an, proses perizinan dipermudah sehingga semakin banyak bermunculan perusahaan leasing dan juga perusahaan-perusahaan multi finance. Perubahan ini terjadi setelah diubahnya sistem perpajakan, dari operating method berubah menjadi financial method berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.I/1991.

Landasan Hukum
Sebagaimana halnya bentuk-bentuk perjanjian pada umumnya, asas hukum yang  pokok  dalam leasing  adalah  asas  kebebasan  berkontrak seperti diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Pasal  ini  memberikan  kebebasan  kepada  semua  pihak untuk  memilih   isi  pokok  perjanjian   mereka   sepanjang   hal  ini  tidak betentangan    dengan   Undang-Undang, kepentingan atau kebijaksanaan umum. Selanjutnya dikeluarkan beberapa peraturan untuk mengatur tentang perjanjian-perjanjian dan kegiatan leasing di Indonesia, terutama bersifat administratif  dan obligatory  atau  bersifat  memaksa. 
Salah satu aturan khusus mengenai leasing adalah Keputusan   Menteri   Keuangan   RI  No.1169/KMK.01/1991 tentang kegiatan sewa guna usaha yang bersumber dari :
<![if !supportLists]>1.       <![endif]>Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
<![if !supportLists]>2.       <![endif]>Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263);
<![if !supportLists]>3.       <![endif]>Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264);
<![if !supportLists]>4.       <![endif]>Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan;
<![if !supportLists]>5.       <![endif]>Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 64/M Tahun 1988;
<![if !supportLists]>6.       <![endif]>Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1256/KMK.00/1989 tanggal 18 Nopember 1989;
<![if !supportLists]>7.       <![endif]>Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 634/KMK.013/1990 tanggal 5 Juni 1990 tentang Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha (Perusahaan Leasing).

Perjanjian Leasing

Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas setiap perjanjian harus memenuhi  beberapa  unsur  sebagaimana  diatur  dalam  Pasal  1320 KUHPerdata, yaitu:
1.    Kesepakatan para pihak dalam perjanjian (agreement);
2.    Kecakapan para pihak dalam perjanjian (capacity);
3.    Mengenai suatu hal tertentu (certainty of terms);
4.    Sebab  yang  halal  (considerations).

Selain itu dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata disebutkan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. Kata “semua” dalam pasal KUHPerdata tersebut menyatakan bahwa diperbolehkan membuat perjanjian berupa apa saja dan berisi apa saja sepanjang isi perjanjian tersebut tidak melanggar Kausa yang halal dan ketentuan undang-undang yang ada. Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata ditentukan bahwa “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik” Ketentuan ini menghendaki bahwa suatu perjanjian dilaksanakan secara jujur, yakni sesuai norma-norma kepatutan dan kesusilaan.


Transaksi antara Lessor dan Leese wajib dibuat dalam bahasa Indonesia, apabila dipandang perlu dapat diterjemahkan ke dalam bahasa asing, dalam bentuk tertulis, baik dituangkan ke dalam akte bawah tangan ataupun otentik, dinamakan perjanjian sewa-guna-usaha (lease agree- ment).

Perjanjian Leasing secara umum dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kategori yakni perjanjian leasing dengan hak opsi (financial lease) dan perjanjian leasing tanpa hak opsi (operating lease). Perjanjian leasing dengan hak opsi memenuhi kriteria sebagai berikut:
<![if !supportLists]>1.        <![endif]>Jumlah pembayaran sewa guna usaha (leasing) selama masa sewa guna usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;
<![if !supportLists]>2.        <![endif]>Masa perjanjian ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk golongan bangunan. (Penggolongan barang modal ditetapkan berdasarkan Pasal 11 UU No. 7 Tahun1983 tentang Pajak Penghasilan);
<![if !supportLists]>3.        <![endif]>Perjanjian leasing memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

Sedangkan perjanjian leasing tanpa hak opsi apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
<![if !supportLists]>1.          <![endif]>Jumlah pembayaran leasing selama masa sewa guna usaha pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa- guna-usahakan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor;
<![if !supportLists]>2.          <![endif]>Perjanjian leasing tidak memuat ketentuan mengenai opsi lessee.

Berdasarkan Pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing), Perjanjian sewa guna usaha sekurang-kurangnya harus memuat hal-hal sebagai berikut:
<![if !supportLists]>1.         <![endif]>Jenis transaksi sewa guna usaha;
<![if !supportLists]>2.         <![endif]>Nama dan alamat masing-masing pihak;
<![if !supportLists]>3.         <![endif]>Nama, jenis, tipe dan lokasi penggunaan barang modal;
<![if !supportLists]>4.         <![endif]>Harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran sewa guna usaha, angsuran pokok pembiayaan, imbalan jasa sewa guna usaha, nilai sisa, simpanan jaminan, dan ketentuan asuransi atas barang modal yang disewaguna usahakan;
<![if !supportLists]>5.         <![endif]>Masa  sewa  menyewa;
<![if !supportLists]>6.         <![endif]>Ketentuan mengenai pengakhiran transaksi sewa guna usaha yang dipercepat, dan penetapan kerugian yang harus ditanggung lessee dalam hal barang modal yang disewagunausahakan dengan hak opsi hilang, rusak atau tidak berfungsi karena sebab apapun;
<![if !supportLists]>7.         <![endif]>Opsi bagi penyewa guna usaha dalam hal transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi;
<![if !supportLists]>8.         <![endif]>Tanggung jawab para pihak atas barang modal yang disewa guna usaha.

Berakhirnya perjanjian
Dalam perjanjian leasing dengan hak opsi pada masa berakhirnya sewa guna usaha lessee dapat melaksanakan opsi yang telah disetujui bersama pada permulaan masa sewa menyewa. Perjanjian yang berisikan opsi untuk membeli dilakukan dengan melunasi pembayaran nilai sisa barang modal yang disewagunausaha sebagai dasar penyusutannya. Lessee yang memilih opsi untuk memperpanjang jangka waktu perjanjian sewagunausaha, maka nilai sisa barang modal yang disewa guna usahakan digunakan sebagai dasar dalam menetapkan piutang sewa guna usaha.

Jangka waktu perjanjian leasing ditentukan berdasarkan umur kegunaan (nilai guna) barang yang menjadi objek leasing dengan imbalan jasa berdasarkan kesepakatan para pihak yang disesuaikan dengan hasil usaha lessee yang diperkirakan pihak lessor.

Bentuk Usaha Leasing

Leasing merupakan salah satu bentuk dari lembaga pembiayaan. Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. Kegiatan usaha perusahaan pembiayaan meliputi Sewa guna usaha, anjak piutang, usaha kartu kredit dan pembiayaan konsumen.

Perusahaan pembiayaan dilarang menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya. Perusahaan leasing tidak dapat menerbitkan Surat Sanggup Bayar (Promissory Note), kecuali sebagai jaminan atas hutang kepada bank yang menjadi krediturnya, serta memberikan jaminan dalam segala bentuknya kepada pihak lain.

Leasing dapat berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi. Saham perusahaan leasing dapat dimiliki oleh Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia (usaha patungan). Akta  pendirian  badan  hukum  termasuk  anggaran  dasar  yang  telah disahkan oleh instansi berwenang, yang sekurang-kurangnya memuat:
<![if !supportLists]>1.       <![endif]>nama dan tempat kedudukan;
<![if !supportLists]>2.       <![endif]>kegiatan usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan;
<![if !supportLists]>3.       <![endif]>permodalan;
<![if !supportLists]>4.       <![endif]>kepemilikan;
<![if !supportLists]>5.       <![endif]>wewenang, tanggung jawab, masa jabatan direksi dan dewan komisaris atau pengurus dan pengawas;

Perusahaan leasing wajib melakukan permohonan izin usaha. Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha akan diberikan selambat-lambatnya 60 hari kerja  setelah  dokumen permohonan diterima secara lengkap. Izin usaha tersebut berlaku sejak tanggal ditetapkan dan berlaku selama  perusahaan masih menjalankan usahanya. Selanjutnya perusahaan leasing membuat laporan kegiatan usaha. Laporan pelaksanaan kegiatan usaha tersebut wajib disampaikan kepada Menteri selambat-lambatnya 10 (sepuluh)  hari  sejak  tanggal  dimulainya  kegiatan  usaha. Apabila hal tersebut tidak dilakukan, maka izin usaha leasing akan dicabut.

Modal disetor atau simpanan pokok dan simpanan wajib dalam rangka pendirian perusahaan leasing ditetapkan sebagai berikut :
<![if !supportLists]>a.       <![endif]>perusahaan  swasta  nasional  atau  perusahaan  patungan  sekurang- kurangnya sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
<![if !supportLists]>b.       <![endif]>koperasi   sekurang-kurangnya    sebesar  Rp50.000.000.000,00  (lima puluh miliar rupiah).
Perusahaan leasing wajib  memiliki  modal  sendiri  sekurang- kurangnya sebesar 50 % dari modal disetor. Kepemilikan saham oleh badan usaha asing ditetapkan setinggi-tingginya sebesar 85% dari modal disetor.

Dalam   menjalankan   usahanya, perusahaan leasing dapat bekerjasama dengan Bank Umum melalui Pembiayaan Channeling atau Pembiayaan Bersama (Joint Financing). Pembiayaan Channeling berasal dari bank umum dan risiko yang timbul dari kegiatan ini berada pada bank umum. Perusahaan leasing hanya bertindak sebagai pengelola dan memperoleh imbalan atau fee dari pengelolaan dana tersebut. Pembiayaan Bersama (Joint Financing) berasal dari Perusahaan Pembiayaan dan Bank Umum. Risiko  yang  timbul  dari  pembiayaan  Bersama  (Joint  Financing) menjadi beban masing-masing pihak secara proporsional atau sesuai dengan yang diperjanjikan.

Perusahaan leasing hanya dapat melakukan penyertaan modal pada perusahaan di sektor keuangan di Indonesia.penyertaan modal pada setiap perusahaan di sektor keuangan tidak boleh melebihi 25%  dari modal disetor perusahaan yang menerima penyertaan. Jumlah  seluruh  penyertaan  modal  Perusahaan  Pembiayaan  tidak boleh melebihi 40 % dari jumlah modal sendiri.

Setiap  Direksi,  Komisaris  dan  Kepala  Cabang  perusahaan leasing wajib memenuhi    persyaratan kemampuan dan kepatutan. Pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris atau pengurus dan pengawas perusahaan leasing wajib memenuhi persyaratan:
<![if !supportLists]>a.       <![endif]>tidak tercatat dalam Daftar Kredit  Macet di sektor perbankan;
<![if !supportLists]>b.       <![endif]>tidak  tercantum  dalam  Daftar  Tidak  Lulus  (DTL)     di  sektor
<![if !supportLists]>c.       <![endif]>perbankan;
<![if !supportLists]>a.       <![endif]>tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
<![if !supportLists]>b.       <![endif]>setoran modal pemegang saham tidak berasal dari pinjaman dan kegiatan pencucian uang (money laundering);
<![if !supportLists]>c.       <![endif]>salah  satu  direksi  atau  pengurus  harus  berpengalaman operasional di bidang Perusahaan Pembiayaan atau perbankan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; dan
<![if !supportLists]>d.       <![endif]>tidak  pernah  dinyatakan  pailit  atau  dinyatakan  bersalah  yang mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam menjalankan kegiatan usaha tidak menutup kemunginan perusahaan leasing akan mengalami pembubaran. Pembubaran leasing dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perusahaan leasing dinyatakan bubar karena keputusan RUPS atau rapat anggota. Kedua, perusahaan leasing sudah berakhir jangka waktu berdirinya sesuai ketetapan pada anggaran dasar. Ketiga, adanya keputusan pengadilan untuk bubar.

Leasing sebagai Alternatif
Leasing sebagai salah satu alternatif yang memberkan kemudahan dibandingkan pembiayaan dari Bank. Penggunaan perjanjian leasing merupakan hal penting sebagai pengamanan. Sebaiknya perjanjian tersebut dibuat dalam bentuk akta otentik supaya dapat diakui dan diterima. Secara garis besar, keuntung utama melakukan pembiayan leasing adalah lesse berhak menggunakan dan menikmati barang modal tersebut dengan kewajiban membayar angsuran sewa secara berkala sesuai kesepakatan. Dengan demikian, perusahaan dapat memanfaatkan perusahaan leasing dalam melakukan pengembangan usahanya. Melalui leasing, perusahaan dapat memperoleh barang modal dengan mudah tanpa adanya jaminan. Leasing juga memberikan beberapa kemudahan yaitu: fleksibel, biaya relatif murah, menghemat pajak, prosesnya sederhana dan banyak kelonggaran bagi lesse.

Daftar Pustaka
F. Katuuk, Neltje. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Seri Diktat Kuliah. Jakarta : Universitas Gunadarma.
Asyhadie, Zaeni. 2005. Hukum Bisnis:Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Qamar, Nurul. 2009. Pengantar Hukum Ekonomi. Makassar:Pustaka Refleksi: Makassar.
Nurwidiatmo. 2011. Kompilasi Bidang Hukum Tentang Leasing. Jakarta:Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
http://www.ojk.go.id/id/Default.aspx diakses pada 1 Juni 2016


Anisa Intan
21214286
2EB27