Dalam suatu
kegiatan bisnis banyak masalah yang kadang-kadang muncul begitu saja. Badan
usaha yang tadinya cukup mapan, tetapi karena perkembangan perekonomian badan
usaha tersebut memerlukan modal atau barang modal tambahan untuk lebih
mengembangkan kegiatan bisnisnya. Penambahan modal tersebut bisa didapatkan
melalui perusahaan leasing. Leasing merupakan badan usaha yang mirip
sewa-menyewa, tetapi mengandung unsur-unsur jual-beli dan perjanjian pinjam-meminjam. Melalui
leasing, perusahaan dapat memperoleh barang modal dengan mudah
tanpa adanya jaminan. Dibandingkan dengan badan usaha lain yang
sejenis, leasing memberikan beberapa kemudahan
yaitu: fleksibel, biaya relatif murah, menghemat
pajak, prosesnya sederhana dan banyak
kelonggaran bagi lesse. Pada tulisan ini akan diuraikan aspek
hukum yang berkaitan dengan leasing
khususnya yang termuat dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991
tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).
Dengan demikian, akan diperoleh
informasi mengenai mekanisme pelaksanaan leasing di Indonesia sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pelaku
bisnis yang akan memutuskan menggunakan leasing dalam memenuhi kebutuhan
modalnya.
Sejarah Leasing
Istilah Leasing
berasal dari kata “lease” yang berarti sewa menyewa.
Jadi leasing merupakan turunan dari sewa menyewa. Akan tetapi, dalam dunia
bisnis berkembang sewa menyewa dalam bentuk yang lebih spesifik yang disebut
leasing dan telah berubah fungsinya menjadi salah satu jenis pembiayaan. Melihat
bentuknya, leasing adalah badan hukum yang merupakan improvisasi dari badan
hukum konvensional (sewa menyewa) yang telah lama dikenal oleh masyarakat.
Sementara leasing dalam arti modern pertama kali berkembang di Amerika Serikat
kemudian menyebar ke Eropa. Bahkan pada tahun 1850 tercatat adanya leasing
pertama di Amerika yang beroperasi di bidang leasing kereta api.
Di Indonesia,
leasing baru dikenal mulai tahun 1974 yang kemudian diterbitkan Surat Keputusan
Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia No. Kep-122/MK/IV/2)/1974; No. 32/M/SK/2/1974; No.
30/Kpb/I/1974 tentang Perizinan Usaha Leasing. Seiring dengan perkembangan
waktu dan perekonomian Indonesia, semakin banyak dan kompleks permasalahan yang
muncul mengenai leasing. Pada tahun 1980 setelah diterbitkannya beberapa
peraturan yang mengatur tentang leasing, jumlah perusahaan leasing tidak lebih
dari 6 perusahaan dan mengalami penambahan di tahun 1984 menjadi 48 perusahaan
leasing. Tahun 1986 telah mencapai jumlah 89 perusahaan leasing dan terus
berkembang menjadi 122 perusahaan
leasing di tahun
1990. Beberapa segi operasionalisasi ataupun mekanisme
leasing juga turut berubah, misalnya dalam hal metode penghitungan aset untuk
kepentingan pajak berkenaan dengan diundangkannya ketentuan pajak di tahun
1984. Pada tahun 1990an, proses perizinan dipermudah sehingga semakin banyak
bermunculan perusahaan leasing dan juga perusahaan-perusahaan multi finance.
Perubahan ini terjadi setelah diubahnya sistem perpajakan, dari operating
method berubah menjadi financial method berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Keuangan No. 1169/KMK.I/1991.
Landasan Hukum
Sebagaimana halnya
bentuk-bentuk perjanjian pada umumnya, asas hukum yang pokok
dalam leasing adalah asas
kebebasan berkontrak seperti
diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Pasal
ini memberikan kebebasan
kepada semua pihak untuk
memilih isi pokok
perjanjian mereka sepanjang
hal ini tidak betentangan dengan
Undang-Undang, kepentingan atau kebijaksanaan umum. Selanjutnya
dikeluarkan beberapa peraturan untuk mengatur tentang perjanjian-perjanjian dan
kegiatan leasing di Indonesia, terutama bersifat administratif dan obligatory atau
bersifat memaksa.
Salah satu aturan
khusus mengenai leasing adalah Keputusan
Menteri Keuangan RI
No.1169/KMK.01/1991 tentang kegiatan sewa guna usaha yang bersumber dari
:
<![if !supportLists]>1. <![endif]>Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran
Negara Tahun 1983 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
<![if !supportLists]>2. <![endif]>Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor
50; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263);
<![if !supportLists]>3. <![endif]>Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3264);
<![if !supportLists]>4. <![endif]>Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan;
<![if !supportLists]>5. <![endif]>Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 64/M Tahun 1988;
<![if !supportLists]>6. <![endif]>Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 1251/KMK.013/1988 tanggal 20 Desember 1988
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan sebagaimana
diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1256/KMK.00/1989 tanggal 18
Nopember 1989;
<![if !supportLists]>7. <![endif]>Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 634/KMK.013/1990 tanggal 5 Juni 1990 tentang
Pengadaan Barang Modal Berfasilitas Melalui Perusahaan Sewa Guna Usaha
(Perusahaan Leasing).
Perjanjian Leasing
Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas setiap perjanjian harus
memenuhi beberapa unsur
sebagaimana diatur dalam
Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
1. Kesepakatan para pihak dalam
perjanjian (agreement);
2. Kecakapan para pihak dalam
perjanjian (capacity);
3. Mengenai suatu hal tertentu
(certainty of terms);
4. Sebab yang
halal (considerations).
Selain itu dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata disebutkan bahwa “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang
membuatnya”. Kata “semua” dalam pasal KUHPerdata tersebut menyatakan bahwa
diperbolehkan membuat perjanjian berupa apa saja dan berisi apa saja sepanjang
isi perjanjian tersebut tidak melanggar Kausa yang halal dan ketentuan
undang-undang yang ada. Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata ditentukan bahwa “suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik” Ketentuan ini menghendaki
bahwa suatu perjanjian dilaksanakan secara jujur, yakni sesuai norma-norma
kepatutan dan kesusilaan.
Transaksi antara Lessor dan Leese wajib dibuat dalam bahasa Indonesia,
apabila dipandang perlu dapat diterjemahkan ke dalam bahasa asing, dalam bentuk
tertulis, baik dituangkan ke dalam akte bawah tangan ataupun otentik, dinamakan
perjanjian sewa-guna-usaha (lease agree- ment).
Perjanjian Leasing secara umum dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kategori
yakni perjanjian leasing dengan hak opsi (financial lease) dan perjanjian
leasing tanpa hak opsi (operating lease). Perjanjian leasing dengan hak opsi
memenuhi kriteria sebagai berikut:
<![if !supportLists]>1.
<![endif]>Jumlah pembayaran sewa guna usaha (leasing) selama masa
sewa guna usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat
menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;
<![if !supportLists]>2.
<![endif]>Masa perjanjian ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua)
tahun untuk barang modal golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal II dan
III, dan 7 (tujuh) tahun untuk golongan bangunan. (Penggolongan barang modal
ditetapkan berdasarkan Pasal 11 UU No. 7 Tahun1983 tentang Pajak Penghasilan);
<![if !supportLists]>3.
<![endif]>Perjanjian leasing memuat ketentuan mengenai opsi bagi
lessee.
Sedangkan perjanjian leasing tanpa hak opsi apabila memenuhi kriteria
sebagai berikut:
<![if !supportLists]>1.
<![endif]>Jumlah pembayaran leasing selama masa sewa guna usaha
pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa-
guna-usahakan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor;
<![if !supportLists]>2.
<![endif]>Perjanjian leasing tidak memuat ketentuan mengenai opsi
lessee.
Berdasarkan Pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991
tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing), Perjanjian sewa guna usaha
sekurang-kurangnya harus memuat hal-hal sebagai berikut:
<![if !supportLists]>1.
<![endif]>Jenis transaksi sewa guna usaha;
<![if !supportLists]>2.
<![endif]>Nama dan alamat masing-masing pihak;
<![if !supportLists]>3.
<![endif]>Nama, jenis, tipe dan lokasi penggunaan barang modal;
<![if !supportLists]>4.
<![endif]>Harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran sewa guna
usaha, angsuran pokok pembiayaan, imbalan jasa sewa guna usaha, nilai sisa,
simpanan jaminan, dan ketentuan asuransi atas barang modal yang disewaguna
usahakan;
<![if !supportLists]>5.
<![endif]>Masa sewa menyewa;
<![if !supportLists]>6.
<![endif]>Ketentuan mengenai pengakhiran transaksi sewa guna usaha
yang dipercepat, dan penetapan kerugian yang harus ditanggung lessee dalam hal
barang modal yang disewagunausahakan dengan hak opsi hilang, rusak atau tidak
berfungsi karena sebab apapun;
<![if !supportLists]>7.
<![endif]>Opsi bagi penyewa guna usaha dalam hal transaksi sewa
guna usaha dengan hak opsi;
<![if !supportLists]>8.
<![endif]>Tanggung jawab para pihak atas barang modal yang disewa
guna usaha.
Berakhirnya
perjanjian
Dalam perjanjian leasing dengan hak opsi pada masa berakhirnya sewa guna
usaha lessee dapat melaksanakan opsi yang telah disetujui bersama pada
permulaan masa sewa menyewa. Perjanjian yang berisikan opsi untuk membeli dilakukan
dengan melunasi pembayaran nilai sisa barang modal yang disewagunausaha sebagai
dasar penyusutannya. Lessee yang memilih opsi untuk memperpanjang jangka waktu
perjanjian sewagunausaha, maka nilai sisa barang modal yang disewa guna
usahakan digunakan sebagai dasar dalam menetapkan piutang sewa guna usaha.
Jangka waktu perjanjian leasing ditentukan berdasarkan umur kegunaan
(nilai guna) barang yang menjadi objek leasing dengan imbalan jasa berdasarkan
kesepakatan para pihak yang disesuaikan dengan hasil usaha lessee yang
diperkirakan pihak lessor.
Bentuk Usaha Leasing
Leasing merupakan salah satu bentuk dari lembaga
pembiayaan. Lembaga pembiayaan adalah badan
usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal.
Kegiatan usaha perusahaan pembiayaan meliputi Sewa guna usaha, anjak piutang,
usaha kartu kredit dan pembiayaan konsumen.
Perusahaan pembiayaan dilarang menarik dana secara
langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, tabungan dan/atau bentuk
lainnya. Perusahaan leasing tidak dapat menerbitkan Surat Sanggup Bayar
(Promissory Note), kecuali sebagai jaminan atas hutang kepada bank yang menjadi
krediturnya, serta memberikan jaminan dalam segala bentuknya kepada pihak lain.
Leasing dapat berbentuk Perseroan
Terbatas atau Koperasi. Saham perusahaan leasing dapat dimiliki
oleh Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia
(usaha patungan). Akta pendirian badan
hukum termasuk anggaran
dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang, yang
sekurang-kurangnya memuat:
<![if !supportLists]>1. <![endif]>nama dan tempat kedudukan;
<![if !supportLists]>2. <![endif]>kegiatan usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan;
<![if !supportLists]>3. <![endif]>permodalan;
<![if !supportLists]>4. <![endif]>kepemilikan;
<![if !supportLists]>5. <![endif]>wewenang, tanggung jawab, masa jabatan direksi dan dewan komisaris atau
pengurus dan pengawas;
Perusahaan leasing wajib melakukan permohonan izin
usaha. Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha akan diberikan
selambat-lambatnya 60 hari kerja
setelah dokumen permohonan
diterima secara lengkap. Izin usaha tersebut berlaku sejak tanggal ditetapkan dan
berlaku selama perusahaan masih
menjalankan usahanya. Selanjutnya perusahaan leasing membuat laporan kegiatan
usaha. Laporan pelaksanaan kegiatan usaha tersebut wajib disampaikan kepada
Menteri selambat-lambatnya 10 (sepuluh)
hari sejak tanggal
dimulainya kegiatan usaha. Apabila hal tersebut tidak dilakukan,
maka izin usaha leasing akan dicabut.
Modal disetor atau simpanan pokok dan simpanan wajib
dalam rangka pendirian perusahaan leasing ditetapkan sebagai berikut :
<![if !supportLists]>a. <![endif]>perusahaan swasta nasional
atau perusahaan patungan
sekurang- kurangnya sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
<![if !supportLists]>b. <![endif]>koperasi sekurang-kurangnya sebesar
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah).
Perusahaan leasing wajib memiliki
modal sendiri sekurang- kurangnya sebesar 50 % dari modal
disetor. Kepemilikan saham oleh badan usaha asing ditetapkan setinggi-tingginya
sebesar 85% dari modal disetor.
Dalam
menjalankan usahanya, perusahaan
leasing dapat bekerjasama dengan Bank Umum melalui Pembiayaan Channeling atau
Pembiayaan Bersama (Joint Financing). Pembiayaan Channeling berasal
dari bank umum dan risiko yang timbul dari kegiatan ini berada pada bank umum.
Perusahaan leasing hanya bertindak sebagai pengelola dan memperoleh imbalan
atau fee dari pengelolaan dana tersebut. Pembiayaan Bersama (Joint
Financing) berasal dari Perusahaan Pembiayaan dan Bank Umum. Risiko yang
timbul dari pembiayaan
Bersama (Joint Financing) menjadi beban masing-masing
pihak secara proporsional atau sesuai dengan yang diperjanjikan.
Perusahaan leasing hanya dapat melakukan penyertaan
modal pada perusahaan di sektor keuangan di Indonesia.penyertaan modal pada
setiap perusahaan di sektor keuangan tidak boleh melebihi 25% dari modal disetor perusahaan yang menerima
penyertaan. Jumlah seluruh penyertaan
modal Perusahaan Pembiayaan
tidak boleh melebihi 40 % dari jumlah modal sendiri.
Setiap
Direksi, Komisaris dan
Kepala Cabang perusahaan leasing wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan. Pemegang
saham, direksi, dan dewan komisaris atau pengurus dan pengawas perusahaan
leasing wajib memenuhi persyaratan:
<![if !supportLists]>a.
<![endif]>tidak tercatat dalam Daftar
Kredit Macet di sektor perbankan;
<![if !supportLists]>b.
<![endif]>tidak
tercantum dalam Daftar
Tidak Lulus (DTL)
di sektor
<![if !supportLists]>c.
<![endif]>perbankan;
<![if !supportLists]>a.
<![endif]>tidak pernah dihukum karena tindak
pidana kejahatan;
<![if !supportLists]>b.
<![endif]>setoran modal pemegang saham tidak
berasal dari pinjaman dan kegiatan pencucian uang (money laundering);
<![if !supportLists]>c.
<![endif]>salah
satu direksi atau
pengurus harus berpengalaman operasional di bidang
Perusahaan Pembiayaan atau perbankan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; dan
<![if !supportLists]>d.
<![endif]>tidak
pernah dinyatakan pailit
atau dinyatakan bersalah
yang mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam menjalankan kegiatan usaha tidak menutup
kemunginan perusahaan leasing akan mengalami pembubaran. Pembubaran leasing
dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, perusahaan leasing dinyatakan
bubar karena keputusan RUPS atau rapat anggota. Kedua, perusahaan leasing sudah
berakhir jangka waktu berdirinya sesuai ketetapan pada anggaran dasar. Ketiga,
adanya keputusan pengadilan untuk bubar.
Leasing sebagai Alternatif
Leasing sebagai salah satu alternatif yang memberkan
kemudahan dibandingkan pembiayaan dari Bank. Penggunaan perjanjian leasing
merupakan hal penting sebagai pengamanan. Sebaiknya perjanjian tersebut dibuat
dalam bentuk akta otentik supaya dapat diakui dan diterima. Secara garis besar,
keuntung utama melakukan pembiayan leasing adalah lesse berhak menggunakan dan
menikmati barang modal tersebut dengan kewajiban membayar angsuran sewa secara
berkala sesuai kesepakatan. Dengan
demikian, perusahaan dapat memanfaatkan perusahaan leasing dalam melakukan
pengembangan usahanya. Melalui leasing, perusahaan dapat memperoleh barang modal
dengan mudah tanpa adanya jaminan.
Leasing juga memberikan beberapa kemudahan yaitu:
fleksibel, biaya relatif murah,
menghemat pajak, prosesnya sederhana dan
banyak kelonggaran bagi lesse.
Daftar Pustaka
F. Katuuk, Neltje. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Seri
Diktat Kuliah. Jakarta : Universitas Gunadarma.
Asyhadie, Zaeni. 2005. Hukum Bisnis:Prinsip dan
Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Qamar, Nurul. 2009. Pengantar Hukum Ekonomi.
Makassar:Pustaka Refleksi: Makassar.
Nurwidiatmo. 2011. Kompilasi Bidang Hukum Tentang
Leasing. Jakarta:Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI.
Anisa Intan
21214286
2EB27