Friday 16 February 2018

Review Roman Tetralogi Baru Pramoedya Ananta Toer : Bumi Manusia

Setelah sekian lama blog ini tak pernah update, akhirnya saya memutuskan untuk meramaikannya kembali. Pada tulisan kali ini saya tidak akan membahas mengenai bahan mata kuliah seperti tulisan-tulisan saya sebelumnya, tapi saya akan mereview sebuah novel.

Beberapa waktu lalu, seseorang merekomendasikan saya sebuah roman jadul dengan embel-embel “the true karya sastra”. Seseorang yang saya kenal ini memang bukan orang sembarangan, dia selalu membuat saya terpukau karena banyak rahasia yang luar biasa dalam pribadinya. Ia mengirimkan link terkait buku yang ia rekomendasikan dan betapa terherannya saya karena tertulis bahwa buku tersebut pernah dilarang oleh pemerintah negeri kita sendiri. Sontak hal tersebut menjadi bahan ketertarikan saya untuk membacanya. Langsung saja saya minta ia membawakannya agar dapat saya baca.

Novel ini berjudul Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, namanya sangat asing bagi kalangan usia saya. Jelas saja beliau lahir pada awal abad 19 beda lebih dari setengah abad dengan saya. Dari tangannya yang dingin telah lahir lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam 42 bahasa asing. Sampai akhir hidupnya, Beliau adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam Kandidat Pemenang Nobel Sastra. Bukan main pikir saya, ternyata negeri kita punya Kahlil Gibran juga..

Tak perlu waktu lama bagi saya untuk menamatkan novel ini. Semula memang agak sulit meresapinya bahkan saya berulang kali memfokuskan diri untuk mengimajinasikannya. Agar saya tau betul apa makna dari tiap tokoh dan kejadian yang diceritakan. Karena jujur ceritanya agak berat untuk saya.

Novel ini berlatar awal abad 20 tepatnya sekitar abad 19 menceritakan muda mudi pada generasi tersebut. Alurnya campuran, membuat setiap pembaca seakan dibawa oleh mesin waktu yang dibuatnya. Tokoh yang dibangun sangat kuat dan sangat menginsirasi bagi saya. Setiap tokoh memberikan kesan tersendiri dalam benak saya. Sesekali kalian yang membaca akan terbawa emosi seorang muda yang berambisi mengarungi dunia namun terbentur budaya leluhur, lalu kalian akan masuk dalam emosi seorang budak belian yang amat tengguh mempertahankan apa yang dimilikinya dan ada pula gadis cantik yang dibalut kemewahan namun hatinya sangat rapuh.

Novel ini bercerita tentang pemuda bernama Minke, dia merupakan keturunan priyayi Jawa yang disekolahkan oleh nenendanya sampai di H.B.S Surabaya. Minke sangat mandiri bahkan dia tidak mau meneruskan jabatan ayahandanya sebagai Bupati. Dia benar-benar haus akan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh guru-guru asal Eropanya. Sampai pada suatu hari dia jatuh cinta dengan seorang gadis si Nyai keturunan Pribumi – Belanda. Ketika cinta itu tumbuh, mulailah hidupnya dilanda banyak cobaan. Cemooh orang-orang sekitar, amarah ayahanda, kecemburuan kakak lekaki kekasihnya, dan masalah dengan guru-guru disekolahnya. Setiap kejadian menguatkannya, menguji mental dan menambah wawasannya serta membentuk pribadinya yang menang dalam kehidupan hingga pada suatu masa dia harus kehilangan wanita yang telah ia miliki itu.

Novel ini membuka cakrawala saya bagaimana Belanda dulu memperlakukan kita, mengobrak-abrik kekayaan kita, mengatur seluruh pemerintahan kita dan menghilangkan kemanusian pada manusia kita. Saya memang kurang paham dengan aliran-aliran yang diceritakan disana. Jujur saya bukanlah alhi filsafat, atau ahli politik, saya hanya pembaca biasa yang belum sepenuhnya bias membaca. Tapi sungguh pesan moral yang saya dapatkan dari buku sebanyak 535halaman ini sangat banyak dan saya belum menemui novel dengan cerita mendalaman yang mengangkat tema percintaan, social, sejarah, politik dan kemanusiaan. Kebanyakan novel-novel kala ini hanya menyajikan keindahan-keindahan cinta belaka dan cukup membosankan bagi saya.

Dari tokoh utama “Minke” saya belajar bahwa hidup bukan semata-mata tentang apa yang diajarkan didalam ruang kelas. Diluar dinding sekolah disanalah hidup kita sesungguhnya. Bukan diatur orang lain, tapi kita yang mengaturnya, kita yang menjalaninya dan kita pula yang menentukan akan jadi apa kita nantinya. Saya mengutip kalimat didalam novel ini “Seorang terpelajar harus berlaku adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”. Kita seharusnya tak melulu menghakimi orang lain, mencibirinya, merendahkannya sebelum kita mengetahui bagaimana orang itu sesungguhnya. Setiap orang memiliki kelebihannya masing-masing. Setiap orang yang kita temui sudah memiliki perannya masing-masing untuk kita. Entah dia baik atau buruk untuk kita. Yang baik akan membantu, menolong, dan menjadi tempat kita bersandar, dan yang buruk tak selamanya buruk untuk kita. Mereka yang kita anggap buruk, menilai diri kita dari sudut pandang lain, bukan kebanyakan orang lihat dan mereka tidak salah. Justru seringkali diri ini yang salah menanggapinya. Kita tidak seharusnya tersinggung atau marah, kita seharusnya berterimakasih sudah dikoreksi walaupun terkadang menyakitkan tapi mereka mengajarkan kita banyak hal minimal mereka mengajarkan kita untuk kuat diuji dengan menghadapinya menjadikan kita pribadi yang kuat lagi tangguh.

Saya sekan jatuh cinta dengan pribadi Minke ya walaupun ada beberapa yang kurang saya senangi dari dia. Minke pemuda yang hebat, pada masa itu ia pribumi yang berjuang melawan kebodohan dan berjuang membangun negeri sendiri. Sayang banyak sekali rintangan baginya untuk memecahkan kebangkitan nasional. Harusnya semua anak muda termasuk saya dibekali semangat sepertinya. Saya bahkan malu kepada diri saya sendiri, baru dapat beberapa masalah dikantor dan dikampus sudah pusing dan mengeluh padahal kuliah sambil kerja adalah pilihan saya sendiri. Saya terheran-heran bagaimana caranya Minke belajar dan berpikir? Darimana semua pemahaman yang dia dapatkan itu ? bukan hanya kritis mengenai apa yang menjadi pelajaran ujian tetapi juga apa yang ia lihat dapat keseharian,nilai-nilai budaya, nilai social, kemanusiaan bahkan diakhir cerita dia yang baru lulus sekolah tingkat SMA diuji utnuk menandingkan persoalan hukum pribumi dengan hukum Eropa. Antara Timur dan Barat. Pada masa itu, masa dimana pribumi belum bernafas bebas seperti era modern saat ini….. jawabannya saya masih menunggu di buku kedua. Buku ini memiliki 4 seri Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jajak Langkah dan Rumah Kaca.

Ya begitulah saya mengisahkan Minke, sosok baru yang saya kagumi. Saya memang focus mereview dia dibanding bagaimana tatanan dan stuktur novel ini sendiri. Singkatnya saya memang belum mahir membuat review novel dan ini pertama kalinya karena saya sangat suka dengan buku ini. Hehehe..