Monday, 11 November 2019

Peluang dan Tantangan Fintech Syariah pada Era Revolusi Industri 4.0


Setiap revolusi industri ditandai sejumlah momentum yang menunjukkan perkembangan kehidupan manusia dari waktu ke waktu. Saat ini kita telah memasuki dalam era Revolusi Industi 4.0. Revolusi Industri keempat menerapkan konsep automatisasi yang bertujuan untuk  meningkatnya konektivitas, interaksi, batas antarmanusia, mesin dan sumber daya lainnya semakin konvergen melalui teknologi informasi dan komunikasi.

Dalam sektor ekonomi, revolusi industri keempat ini ditandai dengan banyaknya platform digital yang muncul, seperti e-commerce, financial technology, dan lain sebagainya. Jadi, saat ini media sosial tidak hanya dijadikan sebagai pengantar informasi, tetapi juga strategi ekonomi yang dapat memberikan profit bagi individu maupun perusahaan. Selain keberadaan e-commerce besar yang mulai menjamur, pengembangan aplikasi teknologi finansial di Indonesia juga patut diperhitungkan.

Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, prospek industri fintech syariah di Indonesia tampak sangat baik. Secara keseluruhan, fintech di Indonesia memiliki potensi besar karena dapat memberikan solusi untuk kebutuhan mendesak yang tidak dapat disediakan oleh lembaga keuangan tradisional. Selain itu, ledakan dalam penetrasi seluler (70% penduduk menggunakan ponsel untuk mengakses web) di negara ini telah menciptakan lahan subur bagi peningkatan pesat industri fintech.

Bentuk jasa fintech yang umum di Indonesia antara lain, sistem pembayaran (payment system), peer-to-peer lending yang menyediakan akses pembiayaan, investment management, market provisioning, dan equity crowdfunding.

Sebagian besar jasa fintech di Indonesia memang berazaskan konvensional. Namun, seiring 
berjalannya waktu jumlah perusahaan fintech yang mematuhi aturan syariah di Indonesia mengalami pertumbuhan. Saat ini ada 27 perusahaan syariah yang fokus pada fintech, 9 di antaranya telah terdaftar dalam Layanan Keuangan Otoritas (OJK) per 7 Agustus 2019.


Daftar Aplikasi Fintech yang terdaftar di OJK

No
Platform
Type
Registered
1
Ammana
P2P Lending
Desember 2017
2
Dana Syariah
Investment Management
Juni 2018
3
Danakoo
Crowdfunding
Februari 2019
4
ALAMI Sharia
P2P Lending
April 2019
5
Duha Syariah
Payment
April 2019
6
Syarfi
Crowfunding
April 2019
7
Investree
P2P Lending
Mei 2019
8
Bsalam
P2P Lending
Mei 2019
9
Qazwa
P2P Lending
Agustus 2019
Sumber: OJK, 2019

Misi sebagian besar bisnis Fintech yang berfokus pada Syariah adalah menjembatani kesenjangan pembiayaan di dalam komunitas Muslim. Beberapa Shariafocused Perusahaan FinTech yang beroperasi di Indonesia mulai dari layanan crowdfunding dan investasi seperti Ethis, sementara yang lain mulai dari memberikan transaksi keuangan yang mudah bagi yang belum memiliki rekening bank termasuk donasi elektronik (zakat) seperti duithape bekerja sama dengan Dompet Dhuafa.

Industri Fintech Syariah cukup menjanjikan dan akan memiliki pengaruh besar bagi masyarakat di tahun-tahun mendatang. Ketika dana beredar lebih efektif dan langsung dari orang-ke-orang (P2P) dan orang-ke-proyek melalui platform dan dompet elektronik, orang-orang akan memiliki dinamika baru di mana dampaknya langsung dan langsung. Dengan adanya fenomena tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas peluang dan tantangan fintech syariah di Indonesia.

Dasar Hukum Penerapan Fintech Syariah di Indonesia
Industri finance technology terdiri dari berbagai start up yang masih dalam tahap perkembangan dengan bergantung dengan dana investor. Tentunya, para investor menginginkan jaminan hukum bahwa industri ini legal berdasarkan berbagai regulasi tekait. Dan untuk mendapatkan kepercayaan pengguna finance technology dalam hal perlindungan konsumen, berbagai produk finance technology juga membutuhkan pengakuan dari regulator.

Dasar hukum untuk mengatur FinTech dalam sistem pembayaran di Indonesia adalah sebagai berikut:
  1. Peraturan Bank Indonesia No.18/40/PBI/2016 tentang Implementasi Pemrosesan Transaksi Pembayaran,
  2. Surat Edaran Bank Indonesia No.18/22/DKSP tentang Implementasi Layanan Keuangan Digital,
  3. Peraturan Bank Indonesia No.18/17/PBI/2016 tentang Uang Elektronik
  4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.77/Pojk.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
  5. Peraturan OJK No.13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan
  6. Fatwa Dewan Syariah Nasional Dewan Ulama Indonesia No.117/DSNMUI/II/2018 Tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah


Prinsip Dasar Fintech Syariah
Ekosistem syariah menekankan pada dampak sosial dan menempatkan kedua untuk keuntungan Misi utamanya adalah membantu lebih banyak orang agar lebih mudah akses keuangan pada kehidupan mereka. Terdapat perbedaan mendasar antara Fintech syariah dan Fintech konvensional dan Fokus Syariah FinTech konvensional, prinsip-prinsip ini perlu diikuti untuk mematuhinya dengan hukum Syariah:
  1. Kepentingan komunitas didahulukan dari kepentingan individu.
  2. Menghilangkan kesulitan lebih diutamakan daripada mempromosikan manfaat.
  3. Kerugian yang lebih besar tidak bisa diresepkan untuk mengurangi kerugian yang lebih kecil dan manfaat yang lebih besar lebih diutamakan daripada yang lebih kecil.

Ada juga larangan Syariah utama yang terkait dengan keuangan transaksi:
  1. Bunga (riba)
  2. Spekulasi / perjudian (qimar)
  3. Pendapatan diterima dimuka (maysir)
  4. Risiko berlebihan / ketidakpastian / penipuan (gharar)
  5. Perdagangan produk terlarang (alkohol, obat-obatan terlarang, dll.)


Peluang Industri FinTech
FinTech menciptakan berbagai peluang seperti lebih otomatis transaksi keuangan, lebih nyaman, tanpa kertas dan ramah pengguna, yang akan mengarah pada pengalaman pelanggan yang lebih baik. Secara global, 1,7 miliar orang dewasa tetap tidak memiliki rekening bank, namun dua pertiga dari mereka memiliki ponsel yang dapat membantu mereka mengakses layanan FinTech.

Teknologi digital dapat memanfaatkan transaksi tunai yang ada untuk membawa lebih banyak orang ke dalam sistem keuangan. Misalnya, membayar upah, pensiun, dan tunjangan sosial langsung ke rekening bisa membawa layanan keuangan formal hingga $ 100 juta lebih banyak orang dewasa secara global, termasuk 95 juta di negara berkembang.

Adapun menurut Baidhowi dalam jurnal “Sharia Banking Opportunities and Challenges in the Digital Era” Peluang teknologi keuangan yang diterapkan di lembaga perbankan Islam memiliki analisis peluang berikut:
  1. Kesadaran masyarakat tumbuh untuk menyimpan dan meminjam kebutuhan keuangan melalui layanan perbankan karena dianggap lebih aman dan lebih menguntungkan dengan harapan suku bunga tinggi ketika menyimpan dana dan biaya bunga yang relatif terjangkau ketika melakukan transaksi pinjaman bank.
  2. Regulator, evaluator, dan pelindung, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pusat kesehatan untuk mengendalikan industri keuangan berperan dalam memastikan keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam mencoba. Sehingga OJK dengan kewenangannya dapat meminimalisir kejahatan perbankan menggunakan layanan fintech.

Sedangkan menurut Muhamad Mujahidin dalam jurnal “Opportunities and Challenges of Sharia Technology Financials in Indonesia” peluang pasar Financial Technology  Syariah saat ini adalah sebagai berikut :
  1. Mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim dan 64% masih belum memiliki rekening bank sehingga mereka bisa meningkatkan jumlah target calon pengguna syariah FinTech,
  2. Ekonomi Syariah terus mengalami pertumbuhan baik secara global maupun domestik
  3. Platform teknologi keuangan Islam sudah banyak tersedia di ekonomi Islam, termasuk FinTech syariah, didukung oleh teknologi yang mapan
  4. Pemerintah dan MUI mendukung pertumbuhan ekonomi Islam (Hasil dari Kongres Ekonomi Masyarakat)
  5. Potensi pengikut ZIFWAF sangat besar
  6. Peraturan keuangan Islam di Indonesia sudah ada dan mendukung tetapi untuk syariah FinTech adalah masih dalam tahap pengembangan sehingga dapat memberikan peluang bagi perkembangan keuangan inovasi

Tantangan Industri Fintech
Industri finance technology terdiri dari berbagai start up yang masih dalam tahap perkembangan dengan bergantung dengan dana investor. Tentunya, para investor menginginkan jaminan hukum bahwa industri ini legal berdasarkan berbagai regulasi tekait. Dan untuk mendapatkan kepercayaan pengguna finance technology dalam hal perlindungan konsumen, berbagai produk finance technology juga membutuhkan pengakuan dari regulator.
Adapun menurut Baidhowi dalam jurnal “Sharia Banking Opportunities and Challenges in the Digital Era” analisis tantangan fintech dalam lembaga perbankan syariah adalah sebagai berikut:
  1. Penggunaan teknologi yang semakin canggih oleh penyedia layanan teknologi keuangan, tanpa disertai dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia perbankan, membuat ketidaksetaraan dalam melayani masyarakat menggunakan layanan perbankan. Ini karena keberadaan fintech dimungkinkan secara kelembagaan untuk melemahkan fungsi perbankan / perbankan syariah. Untuk menjaga keamanan dan perlindungan konsumen, dikeluarkannya POJK Nomor 77 Tahun 2016. Ini untuk menghindari praktik shadow banking dengan model Peer to Peer Lending. Yaitu penggunaan fintech sebagai pemberi pinjaman (lending) dan dicatat di neraca atau On Balance Sheet.
  2. Tren globalisasi dan keterbukaan dalam transaksi transnasional memungkinkan penyedia layanan teknologi keuangan semakin beragam. Sehingga otoritas persaingan bisnis di seluruh dunia memiliki tantangan besar karena model gangguan inovasi dilakukan dalam berbagai cara termasuk merger dan akuisisi. Demikian juga, kolaborasi pelaku bisnis antar negara satu sama lain, terutama batas-batas antara yurisdiksi hukum menjadi tidak jelas. Ini terkait dengan keberadaan dan pemanfaatan big data dalam bisnis. Sisi negatif dari big data adalah praktik anti-persaingan. Ini berpotensi membahayakan konsumen karena bisnis dapat mengendalikan pasar dengan mengakuisisi pelaku bisnis di luar pasar yang relevan dengan melihat analisis data besar. Terlebih lagi, penggunaan big data plus algoritma, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence), yang membuatnya lebih mudah bagi bisnis untuk memprediksi tren pasar dan mengoptimalkan proses bisnis.
  3. Ancaman serius yang terkait dengan fintech untuk perbankan / syariah adalah cybercrime. Serangan peretas perlu diwaspadai. Karena prinsip perbankan adalah memberikan layanan yang nyaman dan perlindungan konsumen yang aman. Mckinsey (2016) memprediksi tren industri perbankan dalam 10 tahun ke depan akan tumbuh sangat cepat. Selain itu, ada pergeseran harapan pelanggan dan teknologi digital diperkirakan akan menyebabkan perubahan besar dan memberikan profil konsumen yang berbeda untuk industri perbankan. Oleh karena itu Big data, pembelajaran mesin, dan crowdsourcing harus menjadi kekuatan utama dalam manajemen risiko perusahaan, terutama dalam membantu mengidentifikasi dan mengurangi munculnya risiko baru, seperti risiko efek simultan dari pengaruh global dan serangan cyber. Jadi ada kebutuhan untuk regulasi / regulasi lokal dan internasional yang ketat dalam mengatur semua aspek industri ini
  4. Situasi politik yang tidak menguntungkan di Indonesia, yang mempengaruhi inflasi yang relatif tinggi, menyebabkan lembaga keuangan / keuangan lebih berhati-hati dalam menyalurkan pinjaman kepada publik. Untuk memastikan keamanan dan kenyamanan pelanggan. Penggunaan fintech dalam perbankan membutuhkan kepastian hukum. Kehadiran negara dibutuhkan baik dalam mendidik dan memberikan pengawasan pada layanan warga.

Sedangkan menurut Muhamad Mujahidin dalam jurnal “Opportunities and Challenges of Sharia Technology Financials in Indonesia” tantangan pasar Financial Technology  Syariah saat ini adalah sebagai berikut :
  1. Kurangnya pemahaman publik dan kesadaran akan produk-produk syariah, khususnya FinTech Syariah.
  2. Pertumbuhan ekonomi syariah lambat dan pangsa pasarnya masih kecil (keuangan konvensional dominasi masih besar, dan produk Islam masih mahal).
  3. Tingkat adopsi (akses dan pemanfaatan) teknologi keuangan syariah masih rendah.
  4. Kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas di bidang keuangan Islam dengan lembaga sosial itu bergerak di bidang komunitas ekonomi, seperti lembaga zakat dan wakaf.
  5. Masih ada peraturan yang tidak menguntungkan transaksi keuangan syariah (misalnya, jual beli pajak).



Kesimpulan
Adanya FinTech syariah yang merupakan pengembangan inovasi teknologi sesuai dengan ketentuan syariah dan solusi untuk menghindari transaksi bunga. Secara umum, peluang pertumbuhan FinTech sejalan dengan tumbuhnya populasi Muslim yang akan hukum perdagangan Islam. Hal tersebut merupakan prinsip fundamental dari FinTech yang berfokus pada Syariah bisnis di Indonesia. FinTech syariah masih dalam tahap awal perkembangan, tetapi potensi tantangan kedepannya tidak boleh dianggap remeh.
Aspek yang perlu diperhatikan dalam Fintech Syariah yaitu karena industri keuangan ini menjunjung tinggi nilai – nilai kehati-hatian tentang kepercayaan public yang sejalan dengan dimensi syariah. Itu sebabnya regulator harus bergerak dengan cepat membuat berbagai peraturan sehingga dapat digunakan sebagai pedoman dan menciptakan kenyamanan bagi aktor dalam industri ini. Fatwa POJK dan DSN MUI telah bersinergi untuk menghasilkan tanda-tanda hukum, tetapi di masa depan, diperlukan peraturan yang lebih beragam untuk mendukung pertumbuhan beragam yang cepat transaksi dan model di bidang transaksi keuangan (terutama FinTech Syariah) berbasis tentang teknologi informasi ini.

I.           REFRENSI
Aan Ansori. 2016. Digitalisasi Ekonomi Syariah. Islamiconomic : Jurnal Ekonomi Keuangan dan Bisnis IslamVol.7 No.1 Januari – Juni 2016.
Baidhowi. 2018. Sharia Banking Opportunities and Challenges in the Digital Era. Atlantis Press-Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume 192.
https://ojk.go.id/id/ diakses pada 27 Oktober 2019
Maria Todorof. 2018. Shariah-compliant FinTech in the banking industry. ERA Forum (2018) 19:1–17
Mujahidin, Muhamad. 2019. Opportunities and Challenges of Sharia Technology Financials in Indonesia. MPRA Paper No. 94844, posted 04 Jul 2019 06:24 UTC.