Setiap revolusi
industri ditandai sejumlah momentum yang menunjukkan perkembangan kehidupan
manusia dari waktu ke waktu. Saat ini kita telah memasuki dalam era Revolusi
Industi 4.0. Revolusi Industri keempat menerapkan konsep
automatisasi yang bertujuan untuk meningkatnya konektivitas, interaksi, batas
antarmanusia, mesin dan sumber daya lainnya semakin konvergen melalui teknologi
informasi dan komunikasi.
Dalam sektor ekonomi, revolusi industri keempat ini
ditandai dengan banyaknya platform digital yang muncul, seperti e-commerce,
financial technology, dan lain sebagainya. Jadi, saat ini media sosial tidak
hanya dijadikan sebagai pengantar informasi, tetapi juga strategi ekonomi yang
dapat memberikan profit bagi individu maupun perusahaan. Selain
keberadaan e-commerce besar yang mulai menjamur, pengembangan aplikasi
teknologi finansial di Indonesia juga patut diperhitungkan.
Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia,
prospek industri fintech syariah di Indonesia tampak sangat baik. Secara
keseluruhan, fintech di Indonesia memiliki potensi besar karena dapat memberikan
solusi untuk kebutuhan mendesak yang tidak dapat disediakan oleh lembaga
keuangan tradisional. Selain itu, ledakan dalam penetrasi seluler (70% penduduk
menggunakan ponsel untuk mengakses web) di negara ini telah menciptakan lahan
subur bagi peningkatan pesat industri fintech.
Bentuk jasa
fintech yang umum di Indonesia antara lain, sistem pembayaran (payment system),
peer-to-peer lending yang menyediakan akses pembiayaan, investment management,
market provisioning, dan equity crowdfunding.
Sebagian besar jasa
fintech di Indonesia memang berazaskan konvensional. Namun, seiring
berjalannya
waktu jumlah perusahaan fintech yang mematuhi aturan syariah di Indonesia
mengalami pertumbuhan. Saat ini ada 27
perusahaan syariah yang fokus pada fintech, 9 di antaranya telah terdaftar
dalam Layanan Keuangan Otoritas (OJK) per 7 Agustus 2019.
Daftar Aplikasi Fintech yang terdaftar di OJK
No
|
Platform
|
Type
|
Registered
|
1
|
Ammana
|
P2P Lending
|
Desember 2017
|
2
|
Dana Syariah
|
Investment Management
|
Juni 2018
|
3
|
Danakoo
|
Crowdfunding
|
Februari 2019
|
4
|
ALAMI Sharia
|
P2P Lending
|
April 2019
|
5
|
Duha Syariah
|
Payment
|
April 2019
|
6
|
Syarfi
|
Crowfunding
|
April 2019
|
7
|
Investree
|
P2P Lending
|
Mei 2019
|
8
|
Bsalam
|
P2P Lending
|
Mei 2019
|
9
|
Qazwa
|
P2P Lending
|
Agustus 2019
|
Sumber: OJK, 2019
Misi sebagian besar bisnis Fintech yang berfokus pada
Syariah adalah menjembatani kesenjangan pembiayaan di dalam komunitas Muslim.
Beberapa Shariafocused Perusahaan FinTech yang beroperasi di Indonesia mulai
dari layanan crowdfunding dan investasi seperti Ethis, sementara yang lain
mulai dari memberikan transaksi keuangan yang mudah bagi yang belum memiliki
rekening bank termasuk donasi elektronik (zakat) seperti duithape bekerja sama
dengan Dompet Dhuafa.
Industri Fintech Syariah cukup menjanjikan dan akan
memiliki pengaruh besar bagi masyarakat di tahun-tahun mendatang. Ketika dana
beredar lebih efektif dan langsung dari orang-ke-orang (P2P) dan
orang-ke-proyek melalui platform dan dompet elektronik, orang-orang akan
memiliki dinamika baru di mana dampaknya langsung dan langsung. Dengan adanya
fenomena tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas peluang dan tantangan
fintech syariah di Indonesia.
Dasar Hukum Penerapan Fintech Syariah di Indonesia
Industri finance
technology terdiri dari berbagai start up yang masih dalam tahap perkembangan
dengan bergantung dengan dana investor. Tentunya, para investor menginginkan
jaminan hukum bahwa industri ini legal berdasarkan berbagai regulasi tekait.
Dan untuk mendapatkan kepercayaan pengguna finance technology dalam hal
perlindungan konsumen, berbagai produk finance technology juga membutuhkan
pengakuan dari regulator.
Dasar hukum
untuk mengatur FinTech dalam sistem pembayaran di Indonesia adalah sebagai
berikut:
- Peraturan Bank Indonesia No.18/40/PBI/2016 tentang Implementasi Pemrosesan Transaksi Pembayaran,
- Surat Edaran Bank Indonesia No.18/22/DKSP tentang Implementasi Layanan Keuangan Digital,
- Peraturan Bank Indonesia No.18/17/PBI/2016 tentang Uang Elektronik
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.77/Pojk.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
- Peraturan OJK No.13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan
- Fatwa Dewan Syariah Nasional Dewan Ulama Indonesia No.117/DSNMUI/II/2018 Tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah
Prinsip Dasar Fintech Syariah
Ekosistem
syariah menekankan pada dampak sosial dan menempatkan kedua untuk keuntungan
Misi utamanya adalah membantu lebih banyak orang agar lebih mudah akses
keuangan pada kehidupan mereka. Terdapat perbedaan mendasar antara Fintech
syariah dan Fintech konvensional dan Fokus Syariah FinTech konvensional,
prinsip-prinsip ini perlu diikuti untuk mematuhinya dengan hukum Syariah:
- Kepentingan komunitas didahulukan dari kepentingan individu.
- Menghilangkan kesulitan lebih diutamakan daripada mempromosikan manfaat.
- Kerugian yang lebih besar tidak bisa diresepkan untuk mengurangi kerugian yang lebih kecil dan manfaat yang lebih besar lebih diutamakan daripada yang lebih kecil.
Ada juga
larangan Syariah utama yang terkait dengan keuangan transaksi:
- Bunga (riba)
- Spekulasi / perjudian (qimar)
- Pendapatan diterima dimuka (maysir)
- Risiko berlebihan / ketidakpastian / penipuan (gharar)
- Perdagangan produk terlarang (alkohol, obat-obatan terlarang, dll.)
Peluang Industri
FinTech
FinTech
menciptakan berbagai peluang seperti lebih otomatis transaksi keuangan, lebih
nyaman, tanpa kertas dan ramah pengguna, yang akan mengarah pada pengalaman
pelanggan yang lebih baik. Secara global, 1,7 miliar orang dewasa tetap tidak memiliki rekening
bank, namun dua pertiga dari mereka memiliki ponsel yang dapat membantu mereka
mengakses layanan FinTech.
Teknologi
digital dapat memanfaatkan transaksi tunai yang ada untuk membawa lebih banyak
orang ke dalam sistem keuangan. Misalnya, membayar upah, pensiun, dan tunjangan
sosial langsung ke rekening bisa membawa layanan keuangan formal hingga $ 100
juta lebih banyak orang dewasa secara global, termasuk 95 juta di negara
berkembang.
Adapun menurut Baidhowi dalam jurnal
“Sharia Banking Opportunities and Challenges in the Digital Era” Peluang
teknologi keuangan yang diterapkan di lembaga perbankan Islam memiliki analisis
peluang berikut:
- Kesadaran masyarakat tumbuh untuk menyimpan dan meminjam kebutuhan keuangan melalui layanan perbankan karena dianggap lebih aman dan lebih menguntungkan dengan harapan suku bunga tinggi ketika menyimpan dana dan biaya bunga yang relatif terjangkau ketika melakukan transaksi pinjaman bank.
- Regulator, evaluator, dan pelindung, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pusat kesehatan untuk mengendalikan industri keuangan berperan dalam memastikan keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam mencoba. Sehingga OJK dengan kewenangannya dapat meminimalisir kejahatan perbankan menggunakan layanan fintech.
Sedangkan
menurut Muhamad Mujahidin dalam jurnal “Opportunities
and Challenges of Sharia Technology Financials in Indonesia” peluang
pasar Financial Technology Syariah saat
ini adalah sebagai berikut :
- Mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim dan 64% masih belum memiliki rekening bank sehingga mereka bisa meningkatkan jumlah target calon pengguna syariah FinTech,
- Ekonomi Syariah terus mengalami pertumbuhan baik secara global maupun domestik
- Platform teknologi keuangan Islam sudah banyak tersedia di ekonomi Islam, termasuk FinTech syariah, didukung oleh teknologi yang mapan
- Pemerintah dan MUI mendukung pertumbuhan ekonomi Islam (Hasil dari Kongres Ekonomi Masyarakat)
- Potensi pengikut ZIFWAF sangat besar
- Peraturan keuangan Islam di Indonesia sudah ada dan mendukung tetapi untuk syariah FinTech adalah masih dalam tahap pengembangan sehingga dapat memberikan peluang bagi perkembangan keuangan inovasi
Tantangan Industri Fintech
Industri
finance technology terdiri dari berbagai start up yang masih dalam tahap
perkembangan dengan bergantung dengan dana investor. Tentunya, para investor
menginginkan jaminan hukum bahwa industri ini legal berdasarkan berbagai
regulasi tekait. Dan untuk mendapatkan kepercayaan pengguna finance technology
dalam hal perlindungan konsumen, berbagai produk finance technology juga
membutuhkan pengakuan dari regulator.
Adapun menurut
Baidhowi dalam jurnal “Sharia Banking Opportunities and Challenges in the
Digital Era” analisis tantangan fintech dalam lembaga perbankan syariah adalah
sebagai berikut:
- Penggunaan teknologi yang semakin canggih oleh penyedia layanan teknologi keuangan, tanpa disertai dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia perbankan, membuat ketidaksetaraan dalam melayani masyarakat menggunakan layanan perbankan. Ini karena keberadaan fintech dimungkinkan secara kelembagaan untuk melemahkan fungsi perbankan / perbankan syariah. Untuk menjaga keamanan dan perlindungan konsumen, dikeluarkannya POJK Nomor 77 Tahun 2016. Ini untuk menghindari praktik shadow banking dengan model Peer to Peer Lending. Yaitu penggunaan fintech sebagai pemberi pinjaman (lending) dan dicatat di neraca atau On Balance Sheet.
- Tren globalisasi dan keterbukaan dalam transaksi transnasional memungkinkan penyedia layanan teknologi keuangan semakin beragam. Sehingga otoritas persaingan bisnis di seluruh dunia memiliki tantangan besar karena model gangguan inovasi dilakukan dalam berbagai cara termasuk merger dan akuisisi. Demikian juga, kolaborasi pelaku bisnis antar negara satu sama lain, terutama batas-batas antara yurisdiksi hukum menjadi tidak jelas. Ini terkait dengan keberadaan dan pemanfaatan big data dalam bisnis. Sisi negatif dari big data adalah praktik anti-persaingan. Ini berpotensi membahayakan konsumen karena bisnis dapat mengendalikan pasar dengan mengakuisisi pelaku bisnis di luar pasar yang relevan dengan melihat analisis data besar. Terlebih lagi, penggunaan big data plus algoritma, seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence), yang membuatnya lebih mudah bagi bisnis untuk memprediksi tren pasar dan mengoptimalkan proses bisnis.
- Ancaman serius yang terkait dengan fintech untuk perbankan / syariah adalah cybercrime. Serangan peretas perlu diwaspadai. Karena prinsip perbankan adalah memberikan layanan yang nyaman dan perlindungan konsumen yang aman. Mckinsey (2016) memprediksi tren industri perbankan dalam 10 tahun ke depan akan tumbuh sangat cepat. Selain itu, ada pergeseran harapan pelanggan dan teknologi digital diperkirakan akan menyebabkan perubahan besar dan memberikan profil konsumen yang berbeda untuk industri perbankan. Oleh karena itu Big data, pembelajaran mesin, dan crowdsourcing harus menjadi kekuatan utama dalam manajemen risiko perusahaan, terutama dalam membantu mengidentifikasi dan mengurangi munculnya risiko baru, seperti risiko efek simultan dari pengaruh global dan serangan cyber. Jadi ada kebutuhan untuk regulasi / regulasi lokal dan internasional yang ketat dalam mengatur semua aspek industri ini
- Situasi politik yang tidak menguntungkan di Indonesia, yang mempengaruhi inflasi yang relatif tinggi, menyebabkan lembaga keuangan / keuangan lebih berhati-hati dalam menyalurkan pinjaman kepada publik. Untuk memastikan keamanan dan kenyamanan pelanggan. Penggunaan fintech dalam perbankan membutuhkan kepastian hukum. Kehadiran negara dibutuhkan baik dalam mendidik dan memberikan pengawasan pada layanan warga.
Sedangkan
menurut Muhamad Mujahidin dalam jurnal “Opportunities
and Challenges of Sharia Technology Financials in Indonesia” tantangan
pasar Financial Technology Syariah saat
ini adalah sebagai berikut :
- Kurangnya pemahaman publik dan kesadaran akan produk-produk syariah, khususnya FinTech Syariah.
- Pertumbuhan ekonomi syariah lambat dan pangsa pasarnya masih kecil (keuangan konvensional dominasi masih besar, dan produk Islam masih mahal).
- Tingkat adopsi (akses dan pemanfaatan) teknologi keuangan syariah masih rendah.
- Kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas di bidang keuangan Islam dengan lembaga sosial itu bergerak di bidang komunitas ekonomi, seperti lembaga zakat dan wakaf.
- Masih ada peraturan yang tidak menguntungkan transaksi keuangan syariah (misalnya, jual beli pajak).
Kesimpulan
Adanya FinTech syariah yang merupakan pengembangan
inovasi teknologi sesuai dengan ketentuan syariah dan solusi untuk menghindari
transaksi bunga. Secara umum, peluang pertumbuhan FinTech sejalan dengan
tumbuhnya populasi Muslim yang akan hukum perdagangan Islam. Hal tersebut
merupakan prinsip fundamental dari FinTech yang berfokus pada Syariah bisnis di
Indonesia. FinTech syariah masih dalam tahap awal perkembangan, tetapi potensi tantangan
kedepannya tidak boleh dianggap remeh.
Aspek yang perlu diperhatikan dalam Fintech Syariah
yaitu karena industri keuangan ini menjunjung tinggi nilai – nilai
kehati-hatian tentang kepercayaan public yang sejalan dengan dimensi syariah.
Itu sebabnya regulator harus bergerak dengan cepat membuat berbagai peraturan
sehingga dapat digunakan sebagai pedoman dan menciptakan kenyamanan bagi aktor
dalam industri ini. Fatwa POJK dan DSN MUI telah bersinergi untuk menghasilkan
tanda-tanda hukum, tetapi di masa depan, diperlukan peraturan yang lebih
beragam untuk mendukung pertumbuhan beragam yang cepat transaksi dan model di
bidang transaksi keuangan (terutama FinTech Syariah) berbasis tentang teknologi
informasi ini.
I. REFRENSI
Aan
Ansori. 2016. Digitalisasi Ekonomi Syariah. Islamiconomic : Jurnal Ekonomi
Keuangan dan Bisnis IslamVol.7 No.1 Januari – Juni 2016.
Baidhowi.
2018. Sharia Banking Opportunities and Challenges in the Digital Era. Atlantis
Press-Advances in Social Science, Education and Humanities Research, volume
192.
https://ojk.go.id/id/
diakses pada 27 Oktober 2019
https://business-law.binus.ac.id/2019/03/19/sekilas-perkembangan-fintech-di-indonesia/
diakses pada 27 Oktober 2019.
Maria
Todorof. 2018. Shariah-compliant FinTech in the banking industry. ERA Forum
(2018) 19:1–17
Mujahidin,
Muhamad. 2019. Opportunities and Challenges of Sharia Technology Financials in
Indonesia. MPRA Paper No. 94844, posted 04 Jul 2019 06:24 UTC.