Masih dengan topik yang belum lama saya bahas juga dalam blog ini. Isu “BBM “ tentunya tidak akan adanya habisnya jika diperbincangkan, karena BBM merupakan salah satu organ penting dalam dunia bisnis. Tidak pernah dipungkiri, jika segala sektor bisnis bersinggungan dengan organ yang satu ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dimanapun dan bagaimanapun BBM melekat dalam setiap produk/jasa yang dibuat para pembisnis dalam melayani kebutuhan masyarakat.
Baru-baru ini dilansir oleh beberapa media
massa di Indonesia terkait Pemerintahan Ir.Jokowi-JK yang memutuskan untuk
melepaskan harga BBM kepada mekanisme pasar dan mencabut subsidinya. Ini
berarti bahwa harga BBM akan berfluktuasi yaitu naik dan turun sesuai dengan
harga minyak dunia. Dampaknya akan sangat luas terhadap para pelaku ekonomi.
Dalam artikel kali ini, saya akan berbagi
sedikit analisis sederhana dampaknya fluktuasi harga BBM bagi jenis UMKM dan
Perusahaan besar. UMKM yang saya maksudkan adalah pedagang makanan kecil,
seperti penjual keliling, katering kecil, home industri kue kering dan
sebagainya. Perusahaan besar yang
saya gambarkan adalah manufaktur makanan instan kemasan.
Melihat dari jenis usaha UMKMnya, komponen
utama pembuatan makanan tersebut adalah :
Bahan baku, bahan
pembantu serta biaya overhead. Amat disayangkan,
umumnya UMKM di Indonesia masih belum memasukan komponen biaya tenaga kerja/
upah yang mengerjakan. Hal ini yang bisa membuat pedagang seakan-akan untung
padahal merugi, sebab waktu kerjanya tidak dihitung. PR bagi pemerintah untuk
lebih mengajarkan sistem pembukuan/akuntansi bagi para UMKM, jadi bukan hanya
disediakan modal tetapi diajarkan pula cara mengelola operasional, pemasaran
dan keuangannya.
Kaitannya dengan BBM yang berfluktuasi adalah
pada saat pembelian bahan pembuat makanan. Faktanya meskipun BBM non subsidi turun,
tidak menyebabkan harga-harga di pasaran
turun. Inilah yang menjadi kendala bagi pelaku bisnis. Apalagi jika konsumen
mengaikatkan BBM turun tetapi harga makanannya tidak turun, atau porsinya
tidak ditambahkan. Secara tidak langsung, pembicaraan ketidakpuasan konsumen akan
berdampak bagi pemasukan si penjual. Seperti pada artikel saya sebelumnya,
bahwa goodwill (dalam kasus ini pencitraan si penjual baik dalam segi produk
maupun pelayanan) akan mempengaruhi besaran pendapatan yang akan dicapai.
Sama halnya bagi jenis Perusahaan besar, BBM
yang berfluktuasi bagi industri manufaktur, jasa dan dagang dalam skala besar,
akan mempengaruhi naik turunnya cost dalam pembeban HPP sebuah produk atau
jasa. Dalam perusahaan besar, sistem akuntansinya pun jelas sehingga besarnya selisih kenaikan akan
jelas terlihat dalam laporan keuangan bulanan.
Yang menjadi masalah adalah penentuan harga
pokok penjualan ke konsumen. Jika biasanya menggunakan margin tunggal, misalnya
5% dari HPP maka bisa jadi saat BBM naik, produk tersebut dijual dalam keadaan
rugi. Jika turun berarti produsen selamat karena ada selisih lebih dalam
marginnya.
Karena tidak mungkin harga BBM berfluktuasi, maka
harga produk juga harus berfluktuasi. Semisal, harga BBM turun Rp1000 maka harga mie instan turun Rp100 atau harga BBM naik Rp2000 maka harga mie instan turun Rp200. Apalagi harga BBM akan berfluktuasi per 2 minggu. Oleh sebab itu, Perusahaan dapat menggunakan metode
range margin (misalnya 5% - 8%). Dikondisikan sesuai dengan harga BBM yang akan terjadi. Jika BBM naik diturunkan, dan jika BBM turun bisa dinaikan. Hal ini
meminimalaisir kenaikan harga produk domestik sekaligus menjadi titik aman margin
bagi Perusahaan.
Created by:
Anisa Intan Damayanti
1EB27
21214286